Kamis, 16 Oktober 2008

kisah hidup terpindana mati Sumiarsih



kisah hidup terpindana mati Sumiarsih



[ Kamis, 03 Juli 2008 ]

Sumiarsih Jelang Eksekusi Mati Dirinya Bulan lalu

Masih Semangat Latih Napi Bikin Selimut Kotak Tisu

Sumiarsih, otak pembunuhan lima anggota keluarga Letkol Marinir Purwanto di Surabaya, 20 tahun lalu, pasrah menghadapi rencana eksekusi Kejagung bulan ini. Apa kegiatannya mengisi hari-hari terakhir di penjara?

YOSI ARBIANTO, Malang

Mengenakan seragam napi Lapas Wanita Malang warna biru tua, mata Sumiarsih tampak sayu. Demikian pula wajahnya yang dihiasi garis-garis keriput terlihat lelah. Namun, Mbah Sih, panggilan akrabnya di antara sesama napi, tetap ingin tampil ramah. Seperti biasa, senyumnya mengembang setiap menghadapi lawan bicara.

"Saya habis bekerja di Bimpas (Bimbingan Pemasyarakatan). Bersama rekan-rekan membuat tempat tisu ini," kata Sumiarsih sambil menunjukkan beberapa hasil karyanya di ruang kantor Entin Martini, kepala Lapas Wanita Malang, yang berlokasi di kawasan Kebonsari, Sukun, itu.

Sudah tiga bulan ini Sumiarsih aktif membimbing para wanita penghuni lapas membuat kerajinan dari bahan benang dan kain flanel. Dari keahlian itulah, nenek 59 tahun itu menularkan ilmunya membuat selimut tempat tisu, syal, dan segala pernik-pernik untuk ibadah. Sedangkan kain flanel untuk membuat kerajinan boneka.

Dua pasang boneka berpakaian ala koboi lucu diperlihatkan Sumiarsih ke Entin Martini yang kemarin mendampingi. Kepala lapas berjilbab itu tampak bangga dengan hasil karya napi binaannya. "Tempat tisu ini saya buat sendiri. Dijual Rp 35 ribu. Banyak pesanan sekarang," kata wanita kelahiran Jombang itu.

Entin mengaku membawa sebuah tempat tisu buatan Sumiarsih sebagai oleh-oleh saat tugas luar ke Kanwil Depkum HAM Jatim di Surabaya. Oleh Entin, cenderamata berbentuk mirip kucing itu diserahkan ke Kakanwil Depkum HAM Jatim Sjamsul Bachri.

"Saya katakan ke Pak Kakanwil, ini buatan Mbah Sih asli," kata Entin yang kemarin mendampingi Sumiarsih. Mbah Sih pun tersenyum mendengarkan pengakuan Entin.

Andai tak ada memori tentang peristiwa pembunuhan di Dukuh Kupang, Surabaya, pada 13 Agustus 1988, yang mengakibatkan Purwanto, Sunarsih (istri Purwanto), Haryo Bismoko (anak), Haryo Budi Prasetyo (anak), dan Sumaryatun (keponakan) tewas, Sumiarsih hingga kemarin adalah sosok wanita yang lembut. Tak ada sedikit pun kesan bahwa dia otak di balik pembunuhan berencana itu.

Sambil merapikan bulu kotak tisu kucing yang dipegangnya, Sumiarsih bercerita bahwa dia masih rajin merawat kebun lapas tiap pagi. Pukul tujuh dia sudah keliling taman. Dia memeriksa hasil cangkokan tanaman yang dilakukan hari-hari sebelumnya. Termasuk melihat hasil stek tanaman kamboja Jepang yang kini memenuhi halaman dalam lapas kelas II ini. "Ya, kan banyak tanamannya. Saya potong kalau ada yang mati dan saya siram," katanya.

Seperti nasib keluarga korban Purwanto (tinggal Haryo Abrianto, anak sulung Purwanto, yang lolos dari pembunuhan karena saat itu sekolah di Akabri), keluarga Mbah Sih juga berantakan. Sersan Dua (pol) Adi Saputro, menantu dan salah seorang aktor pembunuhan, meninggal dieksekusi pada 1992. Djais Adi Prayitno, suami yang juga dipidana mati, meninggal akibat sakit di Lapas Porong pada Juni 2001. Sedangkan Sugeng, anaknya (rencananya juga dieksekusi bulan ini), kini mendekam di Lapas Porong.

Sebagai ibu dari anak yang kebetulan sama-sama terpidana mati, Sumiarsih secara naluri selalu ingin tahu kabar anaknya. Dia bisa mengontak Sugeng melalui telepon di wartel kompleks lapas. "Sekitar dua bulan lalu saya kontak dia. Tidak bisa sering-sering. Tidak ada biaya telepon," katanya. Sumiarsih mengaku lega karena Sugeng sehat-sehat saja.

Meski tak ditanya, Sumiarsih sadar kedatangan wartawan ke lapas wanita sore itu untuk menanyakan seputar kabar eksekusi dan penolakan grasi oleh presiden. "Ya, saya sudah tahu," kata Mbah Sih lirih seraya tersenyum.

(Penolakan grasi tercantum dalam Keppres 4/G Tahun 2008. Dasar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak grasi adalah surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 41/TU/II/2007/12/MA/2007 tanggal 8 Januari 2008. Selain itu, putusan bersalah dari PN Surabaya, Pengadilan Tinggi Jatim, dan MA. Juga dua kali penolakan PK (peninjauan kembali) yang dikeluarkan MA).

Meski grasinya ditolak, Sumiarsih tidak mau menyerah begitu saja. Melalui pengacaranya, Sutedja Djajasusmita SH, dia menyatakan akan mengecek posisi penolakan grasi tersebut. Dia mempertanyakan grasi tahun berapa yang ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, Mbah Sih, melalui anak perempuannya, Wati, memang sudah beberapa kali mengajukan grasi. "Saya masih ada upaya hukum lagi," kata wanita kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu.

Ditanya apa tidak takut menghadapi regu tembak, Sumiarsih awalnya hanya menghela napas. Mimik muka yang sebelumnya mencoba selalu tersenyum, berubah lebih serius. Tubuhnya yang sebelumnya bersandar di kursi tamu ruang Kalapas, dia majukan.

"Semua orang antre (mati). Tinggal menunggu waktu. Sampeyan, saya, semua akan mati. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya.

Muka Sumiarsih terlihat tegang. Senyum yang tadi mengembang tidak tampak lagi. "Siapa tahu satu jam nanti ada yang mati. Kita semua tidak tahu," lanjutnya.

Mbah Sih lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Kedua tangannya bersedekap. "Saya telah bersiap selama 20 tahun. Saya mestinya lebih berbahagia dibanding korban bencana atau pesawat jatuh. Hakim dan jaksa (yang menyidangkannya) malah sudah tiada lebih dulu," katanya.

Sambil mengembangkan senyumnya lagi, Sumiarsih mengatakan bahwa Tuhan Yesus menebus dosa-dosa hambanya. Meski tidak diberi grasi dari manusia, dia tidak takut menghadapi kematian. "Salam Alkitab sudah ada itu," katanya. "Lebih baik mati untuk Tuhan. Saya sudah ikhlas," kata Mbah Sih dengan senyum lebar seperti sebelumnya.

Ditanya soal keinginan saat ini, Mbah Sih mengaku tidak ingin apa-apa. Kalau toh dia harus meninggalkan dunia fana, dia berharap anaknya, Wati, dan cucunya (Mbah Sih tidak mau menyebutkan nama cucu tunggalnya) takut kepada Tuhan. "Anak-anak juga bisa menjadi berkah bagi orang lain," katanya.

Jarum jam di ruang Kalapas menunjukkan pukul 15.35. Setelah menyalami wartawan, Sumiarsih diantar ke selnya oleh petugas KPLP (Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan). Kalapas melarang wartawan masuk ke gerbang ketiga. Dengan langkah-langkah kecil Sumiarsih terus berjalan. "Mbah Sih," sapa Kalapas. Sumiarsih pun menoleh sebentar. Senyumnya kembali mengembang lebar dan kemudian makin menjauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar