Minggu, 19 Oktober 2008

zimbabwe nasibmu kini??



Sepuluh tahun lalu Zimbabwe di bawah pimpinan Presiden Robert Mugabe adalah salah satu negara maju di benua Afrika. Kini, orang yang sama justru membawa taifun kesengsaraan ke negaranya. Tuhan seakan berpaling sejenak dari Zimbabwe. Dari Malaikat Gabriel ke iblis jahanam – tepatkah julukan ini bagi Mugabe?



Zimbabwe berbatasan langsung dengan Zambia. Dalam bahasa setempat disebut mosi-o-tunya atau kabut bergemuruh. Sebuah nama yang terkesan mistis sekaligus puitis. Banyak yang berpendapat, hanya Sang Khalik yang sanggup menciptakan kombinasi keindahan dan kekerasan tersebut.

Dunia mengenal Zimbabwe berkat ekspedisi David Livingstone. Konon, ia orang kulit putih pertama yang menyaksikan keindahan air terjun atau "kabut bergemuruh" ketika sedang mencari sumber air di Zambezi. Di kemudian hari, air terjun tersebut diberi nama Victoria Falls – sesuai dengan Ratu Britania pemegang tahta saat itu.

Suara gemuruh itu tidak lain adalah air yang mengalir deras dan kabut di sekitar Victoria Falls disebabkan oleh kerasnya hempasan air. Victoria Falls disebut salah satu keajaiban alam. Semua elemen religius terlihat menonjol di air terjun itu: kebesaran Tuhan, jejak Inggris dan penjelajah Livingstone yang menganggap dirinya bukan bawahan Ratu Victoria, melainkan utusan Ilahi.

Pelangi yang disebabkan oleh refleksi air terjun seolah-olah menjadi pembawa pesan Tuhan. Siapakah malaikat pewarta itu? Robert Gabriel Mugabe lahir 21 Februari 1924 di Rhodesia (nama awal Zimbabwe). Sejak kemerdekaan Zimbabwe dari Inggris di 1980 hingga pemilihan presiden yang baru berlangsung, Mugabe sudah menoreh sejarah.

Mugabe, penganut Katholik, dalam kampanyenya selalu menyerukan 'Tuhan beserta kita' dan menutup pidatonya dengan 'hanya Tuhan mampu menyingkirkan saya dari pucuk pimpinan'. Teks-teks Alkitab selalu menyertai Mugabe yang taat beragama. Amat kontras dengan kebenciannya terhadap eks kolonisator Inggris yang justru memperkenalkan agama Katholik ke Zimbabwe.



No-Big-Man

Super-hero Mugabe (84) lari dari realitas dan kehilangan arah. Ia membawa penduduk Zimbabwe ke jurang kekerasan. Mugabe bukan lagi Kamerad Bob, nama panggilan intimnya. Ia sudah 28 tahun berkuasa, namun tidak dapat disejajarkan dengan Omar Bongo di Gabon atau Khadafi di Libia. Jalur politik Mugabe mengenal lika-liku sendiri.

Ia secara tidak sengaja terjun ke dunia politik. Seusai studi di Britania Raya sekitar tahun 60-an, Mugabe kembali ke Rhodesia dan mendirikan Zimbabwe African National Union (ZANU). Ia sempat mendekam selama 10 tahun di penjara karena konflik dengan Ian Smith, pimpinan apartheid Rhodesia.

Mugabe berhasil memerdekakan Zimbabwe pada 4 Maret 1980, kendati ia disebut politikus biasa-biasa saja. Rekonsiliasi menjadi agenda utama politiknya. Penduduk berkulit putih diperbolehkan menjadi warga negara Zimbabwe, bahkan diizinkan untuk mengelola sendiri lahan pertanian mereka.

Selain itu, Mugabe juga "merangkul" lawan politiknya yang berasal dari suku-suku minoritas di Zimbabwe seperti Ndebele dan Shona. Konflik dengan suku Shona yang ingin melepaskan diri dari Zimbabwe dibarengi dengan silang pendapat dan kekerasan yang masih membekas sampai saat ini.

Pembantaian Masal

Sayang, situasi memburuk di masa pemerintahan Mugabe yang belum genap berusia 3 tahun. Ia memecat rekan dekatnya Joshua Nkomo, keturunan Ndebele, dan tahun-tahun selanjutnya Mugabe dipastikan membantai sekitar 20 ribu penduduk Matabeleland, daerah asal Nkomo. Mugabe berubah menjadi penguasa tunggal radikal dikelilingi anteknya.

Sebagian besar orang kepercayaan Mugabe masih aktif di panggung politik: mantan kepala dinas intelijen Emmerson Mnangagwa menyandang gelar son-of-god dan marsekal Angkatan Udara Perence Shiri dianggap bertanggung jawab atas peristiwa berdarah di Matabeleland. Shiri menentang pencalonan pemimpin oposisi Morgan Tsvangirai di pemilihan presiden. Tsvangirai berencana menyeret Shiri ke meja hijau.

Selain musuh di dalam negeri, seperti Nkomo dan Tsvangirai, Mugabe mulai melancarkan serangannya ke Downing Street 10. Perdana Menteri Inggris adalah musuh terbesar Mugabe. Hubungan tidak harmonis dengan Britania Raya selama hampir 10 tahun terakhir dianggap pemicu "kelainan psikis" Mugabe. Kebanggaan dan harga diri Mugabe seolah terusik.

Teror dimulai ketika "anak ingusan" Tony Blair mengirim surat ke salah satu menterinya, Clare Short. Short meneruskan surat tersebut ke Mugabe. Tiba saatnya bagi Inggris untuk menghentikan bantuan finansial kepada Zimbabwe sesuai dengan perundingan di Lancaster House. Subsidi untuk mengambil alih lahan pertanian penduduk berkulit putih – tanpa paksaan – tidak lagi berada di bawah tanggung jawab Inggris.

Short mengakhiri suratnya dengan kalimat fatal: “Kami adalah pemerintahan baru dengan latar belakang (budaya) berbeda dan tanpa hubungan khusus dengan sejarah kolonial. Saya sendiri keturunan Irlandia dan seperti Anda tahu kami juga pernah dikolonisasi, tetapi kami bukan kolonisator.”

Kawan Jadi Lawan

Mugabe melihat peluang dari isi surat bernada melecehkan tersebut. Ia justru menyalahkan kegagalan Inggris memajukan bekas koloninya. Pemerintahan Mugabe tidak lepas dari krisis finansial dan tekanan dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Di tengah krisis ekonomi yang melanda, muncul pula tokoh oposisi Morgan Tsvangirai – mantan aktivis serikat buruh – dengan Movement for Democratic Change (MDC).

Popularitas Mugabe menurun tajam seiring dengan krisis ekonomi yang tidak bisa dibendung lagi. Lahan pertanian milik penduduk berkulit putih diambil alih secara paksa mulai tahun 2000 dan diserahkan ke penduduk berkulit hitam, terutama sahabat dekat Mugabe. Sayang, mereka buta mengelola lahan pertanian dan ekonomi makin terpuruk.

Krisis moneter mulai merembet ke politik. MDC tampil sebagai lawan tangguh partai Mugabe, ZANU. Intimidasi dan kekerasan menjadi makanan sehari-hari pendukung MDC. Dunia internasional mengecam dan Britania Raya berada di barisan terdepan. Inggris memberikan sanksi pembatasan bepergian ke luar negeri bagi Mugabe dan keluarga serta pengikutnya.

Mugabe yang dulu secara terbuka kagum dengan all-things-British berbalik menjadi anti Britania, setidaknya terhadap tokoh-tokoh politik Inggris. Ia terang-terangan menyudutkan Inggris untuk mendongkrak kredibilitasnya di arena politik Zimbabwe. Ironisnya, makin gencar ia menyerukan bahaya neo-kolonisasi Inggris, makin banyak pula pengikutnya tidak menggubris Mugabe.

Ia kalah dalam babak pertama pilpres akhir Maret lalu. Untungnya, pemilu berlangsung relatif aman tanpa kekerasan. MDC pun aktif berkampanye di lokasi yang pernah menjadi benteng Mugabe. Tanda-tanda kemenangan pihak oposisi tidak terelakkan. Tsvangirai berupaya – jauh sebelum hasil pemilu diumumkan – berdialog dengan Mugabe seputar kemungkinan pensiun dini Kamerad Bob.

Alih-alih memikirkan tawaran tersebut, Gabriel Mugabe bertransformasi menjadi Lucifer Mugabe. Tiga bulan belakangan, ia justru menunjukkan sifat iblisnya. Gelombang kekerasan dan kesengsaraan melanda Zimbabwe. Angka inflasi melonjak pesat, bahkan menjadi rekor tertinggi di dunia. Mugabe adalah tiran berlabel ZANU.

Korban tewas kurang dari 100 orang bukan indikasi angka sebenarnya. Mugabe menyiksa sekitar 12 juta penduduk Zimbabwe – sebagian besar secara fisik, sisanya intimidasi mental. Penyiksaan ini dipicu oleh lawan politiknya baik di dalam maupun di luar negeri. Morgan Tsvangirai terbukti bukan alternatif terbaik bagi Zimbabwe.

Keputusan Tsvangirai untuk menarik diri dari babak kedua pilpres di Zimbabwe dianggap bijaksana dan taktis. Namun, keputusannya untuk berlindung di Kedubes Belanda – ditambah dengan konferensi pers – memberikan kesan lemah. Zimbabwe perlu pemimpin baru yang dapat diandalkan.



Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki, penengah krisis politik di Zimbabwe, kerap disebut bayangan cermin Mugabe. Mbeki juga mengenyam pendidikan di Inggris dan akan lebih dulu mengutip Shakespeare ketimbang sastrawan Afrika, Wole Soyinka. Seperti halnya Mugabe, Mbeki – dan pendahulunya Nelson Mandela dengan partai ANC – relatif belum lama dapat membebaskan tanah air mereka dari belenggu apartheid.

Neo-kolonialisme dan apartheid menjadi benang merah dalam perjuangan Mugabe dan Mbeki. Mbeki kadang melangkah lebih jauh dan mengecam supremasi penduduk berkulit putih tidak saja di Afrika Selatan tetapi di seluruh dunia Barat. Sejauh ini, hanya Mbeki yang tidak pernah menyerang Mugabe secara frontal. Sikap netral Mbeki – presiden negara termakmur secara politik dan ekonomi di benua Afrika – sering dipertanyakan. Apalagi, Mugabe sebagai pemimpin terbukti gagal menjalankan tugas.

Takdir Tragis

Mayoritas presiden negara-negara Afrika tidak lagi sepaham dengan Mugabe. Semua penduduk Afrika turut prihatin dengan nasib buruk bangsa serumpun mereka di Zimbabwe. Namun, Mbeki tetap bersikeras dengan pendiriannya dan Mugabe masih bebas berkeliaran. Dunia cemas situasi perang saudara di Sierra Leone akan terulang kembali. Orang belum lupa Zaire (sekarang Kongo) di bawah rezim Mobutu.

Sepuluh tahun silam, Zimbabwe di bawah pimpinan Robert Mugabe adalah salah satu roda penggerak dan tumpuan benua Afrika. Di Harare, ibukota Zimbabwe, setiap pengendara mobil akan berhenti sewaktu lampu merah menyala. Sekarang pun, tanpa aliran listrik penduduk masih melintasi perempatan jalan dengan hati-hati dan teratur. Tata krama dan sopan santun di jalan adalah hal lumrah di Zimbabwe, kendati kepedihan dan kekerasan kini menjadi santapan sehari-hari.

Presiden Robert Mugabe menjadi kandidat tunggal pilpres babak kedua akhir Juni kemarin. Tsvangirai mengundurkan diri karena kekerasan yang menimpa pendukungnya. Banyak penduduk diam di rumah dan sengaja tidak datang ke lokasi pemilu. Keberanian ini dianggap kemenangan bagi Tsvangirai. Uni Eropa berpendapat, pemilu tersebut tidak lain adalah sandiwara belaka. Juli mendatang, Dewan Keamanan PBB akan membahas sanksi baru yang akan diberikan terhadap Zimbabwe.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar